Kasus 349 Triliun yang terjadi di Kementerian Keuangan awalnya mencuri perhatian publik, namun seiring berjalannya waktu, hari demi hari, minggu demi minggu, dan bulan demi bulan kasus 349 triliun mulai redup dan kemungkinan akan hilang ditelan ganasnya isu Capres.
Melihat hasil RDP Komisi III DPR dengan Menkopolhukam, Kemenkeu dan PPATK yang tidak membuahkan hasil apa-apa, menjadi sebuah sinyal bahwa kasus 349 triliun akan menjadi kasus kenangan yang memenuhi lembaran-lembaran cerita, tanpa ada penuntasan.
Perbedaan informasi yang disampaikan Menkopolhukam dengan Menkeu memperkeruh situasi, namun akhirnya perlahan-lahan Menkopolhukam mulai kendur dengan kasus 349 triliun serta membentuk satgas untuk mengusut dan menuntaskan kasus tersebut, dengan tenggat waktu akan tuntas pada Desember 2023.
Sebenarnya kasus 348 triliun adalah kumpulan dari kasus-kasus yang belum dituntaskan oleh penegak hukum semenjak tahun 2020 – 2022, dalam laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan kasus-kasus tersebut juga sudah disajikan dengan baik.
Sulitnya penegak hukum menuntaskan kasus-kasus tersebut disebakan keterlibatan Pejabat tinggi negara dalam setiap kasus, disamping itu kemungkinan juga ada tekanan dan loby-loby serta deal-deal agar kasus tersebut tidak diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Beberapa kasus yang seharusnya masuk dalam kasus 349 triliun sesuai temuan BPK
- Kasus impor ilegal emas di Bandara Soekarno-Hatta yang terbongkar pada tahun 2021 yang merugikan keuangan negara, walnya diungkapkan salah satu anggota DPR Komisi III pada saat RDP dengan Kejagung, kasus tersebut dapat terjadi dikarenakan emas yang di impor dari Singapur menggunakan Peraturan Menteri Keuangan No 6/PMK 010/2017, sehingga negara dirugikan sebesar Rp 47.1 triliun, padahal impor emas ilegal tersebut sudang berungkali dilakukan. Walaupun sudah menjadi pembahasan dalam RDP Komisi III, Namun Kejaksaan Agung tidak menuntaskan kasus tersebut walaupun pelakunya sudah jelas dan 8 perusahaan yaitu; PT Jardin Track Utama, PT. Aneka Tambang (persero) Tbk, PT. Lotus Lingga Pratama, PT. Royal Raffles Capital, PT. Viola Davina, PT. Indo Karya Sukses, PT. Karya Utama Putra Mandiri, PT. Bhumi Satu Inti, kegamangan Kejagung dalam menuntaskan kasus ini terlihat sangat jelas dari pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan Kejagung. Setelah kasus 349 triliun mencuat baru Kejagung menangani kembali kasus ini walaupun dengan setengah hati. Sudah dua tahun kurang lebih ditangani Kejagung namun belum mampu menuntaskan sesuai dengan hukum walaupun tanpa alasan yang jelas. Komisi III DPRpun diam seribu bahasa dalam kasus Rp 47.1 triliun.
- Kasus penjarahan keuangan negara yang dilakukan PT. Frerport Indonesia dengan menggunakan payung hukum PMK No 164/PMK.010/2018, akibatnya keuangan negara bobol sebesar Rp 1.6 triliun. Penjarahan keuangan negara yang dilakukan PT. Freeport Indonesia terungkap dikarenakan Kementerian ESDM menggunakan Peraturan Menteri Keuangan No 13/PMK.010/2017 kepada PT Amman Mineral Nusa Tenggara (PT AMNT) selama tahun 2018 dengan tarif bea keluar sebesar 7.5%, Sementara kepada PT. Freeport Indonesia selama tahun 2018 Kementerian ESDM menggunakan tarif bea keluar sebesar 5% sesuai dengan PMK No 164/PMK.010/2018. Konstruksi Kasus; Menteri Keuangan mengeluarkan PMK No 13/PMK.010/2017, tanggal 10 Februari 2017 untuk mengatur penetapan barang ekspor yang dikenakan biaya keluar dan tarif biaya keluar. biaya ekspor yang dikenakan bea keluar berupa produk hasil pengolahan mineral logam untuk tahap pertama sebesar 7,5%, Dirjen Minerba ESDM membuat Nota kesepahaman dengan PT. Freeport Indonesia dimana dalam nota kesepahaman tersebut bea keluar yang dibebankan pada PT. Freeport Indonesia sebesar 5% tanggal 31 Maret 2017. Namun dalam pelaksanaanya PT. Freeport Indonesia tetap membayar bea keluar sebesar 7,5% (sesuai dengan keterangan sekretaris Ditjen Mineral dan Batubara secara tertulis tanggal 3 September 2019). Pada Tanggal 18 Desember 2018 Menteri Keuangan mengeluarkan peraturan baru yang mengatur tarif bea keluar dengan Peraturan Menteri Keuangan No 164/PMK.010/2018 yang mengatur tarif bea keluar sebesar 5%. Dengan keluarnya PMK No 164 disamping PT. Freeport Indonesia membayar bea keluar sebesar 5%, juga menggunakan PMK No 164 sebagai payung hukum melakukan restitusi pajak atas pembayaran tarif bea keluar yang telah dibayarkan selama tahun 2017 sebesar 7.5%, atas kerjasama yang baik antara Kemenkeu dengan PT Freeport Indonesia maka keuangan negara bobol sebesar Rp 1.6 triliun. Sementara terhadap PT. AMNT Kementerian ESDM mengenakan tarif sebesar 7.5% walaupun dalam PMK No 164 telah diatur sebesar 5%. Dengan demikian Kemenkeu mengeluarkan PMK No 164 khusus untuk mengakomodir kebutuhan PT Freeport Indonesia.
- Kasus Pinjaman Luar Negeri di Kepolisian Republik Indonesia sebesar Rp 2.4 triliun Tahun Anggaran 2020. Sesuai dengan data revisi ke-13 atas DIPA sesuai dengan petikan satker Pusat Keuangan (Puskeu) nomor SPDIPA-060.01.1.642381/2020 tanggal 20 Januari 2021, satker Puskeu memiliki nota disposisi yang tidak cukup/tidak tersedia atas kontrak Nomor KJB/08/KSA.2016/XII/2018 pada satker slog Polri dengan register IXB7D7GA yang terdiri atas dua commercial invoice dengan total Rp 603 miliar. Sesuai dengan data online monitoring sistem perbendaharaan anggaran negara (OM SPAN) pagu resgister IXB7D7GA hanya tersedia sebesar Rp 277miliar, sehingga sebesar Rp 325 miliar tidak tersedia. Setelah terjadi kesepakatan antara Polri dan Kemenkeu akhirnya dari total 325 miliar yang tidak dapat dipertanggungjawabkan disepakati sebesar Rp 115.3 miliar, dan sebesar Rp 210 miliar diterbitkan SP3. Disamping pinjaman sebesar Rp 210 miliar menguap begitu saja, mungkinkah Pinjaman luar negeri Tahun Anggaran 2020 sebesar Rp 2.4 triliun, membiayai belanja peralatan dan mesin pada tahun 2016 dan 2018? Sesuai dengan kontrak Nomor KJB/08/KSA2016/XII/2018. Patut diduga kontrak tersebut adalah pengadaan helikopter yang bermasalah pada tahun 2016.
Ketiga kasus diatas terjadi disebabkan para pejabat pelaksana tidak patuh terhadap aturan dan peraturan yang berlaku dan patut diduga dilakukan dengan unsur kesengajaan. Disamping itu adanya keberanian untuk mengeluarkan peraturan sebagai payung hukum yang digunakan untuk menggerogoti keuangan negara.
Dengan kontruksi ketiga kasus diatas sudah sangat jelas alur cerita siapa dan bagaimana terjadinya suatu kasus. Demikian juga halnya dengan kasus 349 triliun
Kira-kira masih punya nyali ngak untuk membongkar dan menuntaskan kasus 349 sementara anggota satgas yang dibentuk memiliki conflik of interest dengan kasus yang akan dibongkar?
Apalagi dengan mencuatnya kasus impor emas ilegal yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 47.1 triliun membuat komisi III DPR meriang dan lemah dalam pembahasan kasus 349 triliun, karena kasus impor emas ilegal juga masuk dalam kasus 349triliun.
Apakah dengan mencuatnya kasus impor emas ilegal untuk menutup kasus 349 triliun?
Mari sama-sama kita tunggu kemana arah dan bagaimana penuntasan kasus glondongan 349 triliun, yang sudah nyata adanya 80% sampai 90% dalam hasil pemeriksaan BPK.
Jakarta, 13 Oktober 2023
Direktur KP3-I
Tom Pasaribu S.H, M.H.