Pekerjaan besar tengah menanti pemerintah kota seusai perayaan lebaran. Pemerintah kota begitu dipusingkan dengan kehadiran “orang-orang asing” yang datang dari berbagai daerah untuk mengadu nasib hidup di kota. Urbanisasi memang bukanlah termasuk tindakan yang melanggar aturan. Merujuk bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang memang membebaskan persebaran warganya, karena itu adalah hak setiap warga untuk mencari penghidupan yang layak dimanapun tempatnya (pasal 27 ayat 2). Akan tetapi yang jadi masalah adalah jika urbanisasi ini dihadapkan pada sebuah realitas, yakni menumpuknya konsentrasi migrasi pada beberapa kota tertentu. Akibatnya nampak terlihat sekarang ini (paling parah di DKI Jakarta), kondisi kota sudah tidak mampu lagi menampung jumlah penduduknya (oversize people). Apalagi jika frekuensi urbanisasi kian tahun semakin bertambah. Tengoklah Provinsi DKI Jakarta yang kedatangan pendatang baru rata-rata 200.000-250.00 ribu jiwa pertahunnya, padahal kebutuhan 8,7 juta warganya (13,2 juta versi PBB) belum sepenuhnya bisa dipenuhi Pemprov DKI Jakarta, seperti perumahan, air minum, pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan.
Urbanisasi pada tingkatan tertentu dari sisi ekonomi justru akan menguntungkan kota tujuan urbanisasi. Dalam teori umum semakin meningkat persentase penduduk suatu kota semakin meningkatkan produk domestik bruto dan capaian pembangunan manusia dari penduduk di kota itu. Jika begitu mengapa urbanisasi saat ini justru menjadi momok bagi pemerintah kota? Jawabannya adalah karena urbanisasi yang terjadi sekarang ini sudah pada tingkatan tidak terkontrol, akibatnya urbanisasi tidak lagi menjadi faktor kemajuan kota. Bukti empiris menunjukkan hubungan antara urbanisasi dan kemajuan itu bisa terwujud jika urbanisasi berada pada tingkat yang terkontrol (UNDP, Human Development Report, 2005). Alih-alih kemajuan yang didapatkan dari urbanisasi, justru urbanisasi malah jadi biang kerok berbagai permasalahan pelik kota. Kemiskinan, pengangguran, pemukiman kumuh, banyaknya gepeng (gelandangan dan pengemis), tingkat kriminalitas tinggi adalah sebagian contoh akibat langsung maupun tidak langsung dari urbanisasi. Jadi tidaklah janggal jika pemerintah kota menjadi pihak yang paling getol menghadapi “ancaman urbanisasi”.
Dari pemantauan pemerintah ada dua arus besar menjadi pendorong urbanisasi, yang pertama adalah tahun kelulusan siswa/mahasiswa dari studinya. Arus pertama ini bagi pemerintah kota bukan ancaman serius, selain karena segi kuantitas tidak terlalu banyak, dilihat dari segi kualitas mayoritas adalah tenaga-tenaga terdidik yang potensial dan mempunyai prospek kerja (formal) cukup tinggi. Bahkan banyak yang memandang mereka akan membawa urbanisasi kearah positif untuk kemajuan kota. Arus yang kedua adalah di saat pasca lebaran. Arus inilah yang paling diantisipasi ekstra oleh pemerintah kota dan menjadi ancaman serius bagi mereka. Kebanyakan perantau baru dari arus balik lebaran ini datang dari wilayah miskin di Indonesia. Kebanyakan lagi dari mereka tidak mempunyai modal yang cukup mengarungi sengitnya persaingan kerja di kota. Dengan latar pendidikan minim, skill yang kurang mumpuni, dan sumber daya finansial (modal dana) juga kurang memadai semakin mempersulit para migran urban meraih kesuksesan di kota. Kalaupun ada yang sukses mungkin bisa dihitung dalam hitungan jari dibanding ratusan migran lainya. Itupun karena mereka mempunyai soft skill yang menunjang kerjanya seperti keuleten, pekerja yang keras, humanis dalam membangun jaringan, dan yang paling penting adalah kejujuran untuk membangun trustment.
Magnet Perantau Di Masa Mudik
Sudah jadi tradisi masyarakat Indonesia di setiap perayaan lebaran menyempatkan diri untuk mudik kembali ke daerah asalnya. Sekedar berkangen mesra dengan sanak saudara dan kerabatnya di desa, orang – orang perantauan ini rela berkorban banyak asalkan bisa pulang kekampung halaman. Tidak ada yang salah dengan ini, yang disesalkan hanya action mereka ketika di kampungnya menampilkan diri secara berlebihan. Walaupun berkesan seperti agak “dipaksakan” mereka sering mencitrakan diri sebagai orang yang sudah mapan dan telah sukses selama merantau di kota. Ditambah lagi dengan penampilan gaya hidup ala kota, tak ayal banyak kerabat menjadi terpikat untuk ikut merasakan nikmat hidup di kota. Di benak mereka yang terbayang hanyalah sebuah kesuksesan yang menanti di kota.
Pasca lebaran adalah moment yang paling sering dimanfaatkan para calon perantau untuk ikut mencicipi hidup di kota. Ketertarikan mereka untuk merantau ke kota tidak lepas dari pengaruh perantau lama yang kebetulan sedang mudik ke daerah asalnya. Memang dalam pengaruhnya tidak selamanya dilakukan secara langsung dengan cara mengajak. Tanpa ada ajakan secara persuasifpun, mereka seringkali menampilkan informasi “palsu” tentang kondisi dirinya dan kota rantauannya. Dengan informasi “palsu” itupun sudah cukup bagi calon perantau untuk membulatkan tekadnya melakukan imigrasi. Belajar dari sang pendahulunya dengan motivasi berlapis dan cita-cita selangit para calon perantau siap untuk mengadu nasib di kota. Mengandalkan kenekatan tanpa ada modal (baca: bondo) yang cukup, panggilan “Bonek” (Bondo Nekat) kini menjadi panggilan akrab bagi calon perantau.
Mencermati Urbanisasi Di Indonesia
Banyak faktor yang menyebabkan mengapa urbanisasi begitu tinggi hingga tak terkontrol. Salah satunya adalah dari peninggalan kebijakan jaman orde baru yang masih menyisakan masalah hingga dewasa ini. Paradigma sentralisasi pemerintahan dan pembangunan ekonomi terpusat adalah hal yang menjadi faktor pendorong terjadinya urbanisasi dengan konsentrasi migrasi yang tidak sehat. Daerah kurang diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi ekonomi daerah. Pemerintah pusat juga tidak mau memecah kosentrasi pembangunan ke daerah untuk pemerataan pembangunan. Yang terjadi sekarang ini adalah jomplangnya pembangunan satu daerah dengan daerah yang lain.
Selain itu jika kita flashback awal pemerintah orde baru saat itu terlalu berfokus pada pembangunan industri subtitusi import (manufactur) dengan mengabaikan sektor yang menjadi penghidupan mayoritas penduduk yakni sektor pertanian. Kalaupun sektor pertanian sempat dianggap maju dengan swasemba berasnya, tapi kemajuannya hanya berlangsung singkat, karena orientasi pembangunan pertanian saat itu berdasarkan paradigma industri subtitusi import (mencukupi pangan nasional), bukan pada pengembangan sumber daya pertanian dan keunggulan produk pertanian. Sektor pertanian sangat identik dengan kehidupan ekonomi desa. Jika sektor pertanian tidak berkembang maka ekonomi desa juga terkena dampak buruknya. Sektor pertanian yang tidak menjanjikan lagi dan lapangan perkejaan yang minim di desa, ditambah lagi rata-rata pendidikan yang rendah menjadi faktor pendorong masyarakat desa untuk melakukan urbanisasi.
Orde baru memang telah jatuh selama satu dekade terkahir, tapi sisa kebijakannya masih terasa sampai saat ini. Mindset masyarakat desa tentang urbanisasi sebagai peningkatan taraf hidup masih belum banyak berubah. Orde reformasi dengan otonomi daerahnya juga tidak mampu menjawab banyak untuk memajukan ekonomi desa, terbukti dengan masih tingginya urbanisasi. Michael Lipton (1977) pernah mengatakan, orang berurbanisasi merupakan refleksi dari gejala kemandekan ekonomi di desa yang dicirikan oleh sulitnya mencari lowongan pekerjaan dan fragmentasi lahan (sebagai faktor pendorong), serta daya tarik kota dengan penghasilan tinggi (sebagai faktor penarik).
Mencari Solusi Terbaik
Dalam mencari solusi permasalahan urbanisasi dapat dibagi menjadi dua jalan penyelesaian, yakni secara struktural sebagai prioritas utama dan secara kultural sebagai sarana pendukung/pelengkap. Cara struktural seperti yang diajukan oleh Weller and Bouvier (1981), menyebutkan ada tiga alternatif solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi urbanisasi. Solusi pertama, melarang penduduk pindah ke kota. Kebijakan ini diterapkan oleh pemerintah kota di indonesia dalam beberapa tahun terakhir, biasa disebut dengan operasi yustisi. Kebijakan ini dipandang terutama dari kalangan LSM terlalu otoriter dan berpotensi melanggar HAM. Pandangan ini ditentang oleh Direktur Eksekutif KP3I (Komite Pemantau Pemberdayaan Parlemen Indonesia) Tom Pasaribu dan menganggap operasi yustisi tidak melanggar HAM. Alasannya sangat logis karena memang sasaranya adalah orang-orang yang tidak jelas identitasnya dan berkeliaran di kota, jadi tidak ada pelanggaran HAM didalamnya. Kebijakan jangka pendek ini ternyata cukup efektif untuk sedikit menekan arus urbanisasi.
Solusi kedua, menyeimbangkan pembangunan antara desa dan kota. Keseimbangan pembangunan itu bisa dicapai jika ada komitmen untuk melakukan pembangunan hampir semua sektor di pedesaan, seperti industri dan jasa. Selain itu, pemerintah perlu menata reforma agraria, memberdayakan masyarakat pedesaan dan membangun infrastruktur pedesaan. Setelah itu jangan sampai ada kesenjangan penghasilan yang tinggi antara desa dan kota. Bayangkan saja, dengan menjadi Pak Ogah (polisi cepek), pemulung, tukang semir sepatu, tukang parkir atau pengumpul barang bekas di Ibukota Jakarta atau di Surabaya, kaum migran memperoleh pendapatan sebesar dua hingga tiga kali lipat dibandingkan penghasilannya di desa. Dengan adanya kesenjangan pendapatan itu, maka pilihan untuk berurbanisasi adalah hal yang rasional secara ekonomis bagi mereka.
Solusi ketiga, mengembangkan kota-kota kecil di daerah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru. Cara ini kini mendapat respons positif dari berbagai negara dan menjadi bahan kajian dari badan kependudukan dunia dalam rangka membangun kemajuan suatu bangsa atau negara. Kajian itu didasarkan atas pemikiran bahwa urbanisasi merupakan salah satu wujud modernisasi sehingga perlu dikelola secara baik. Solusi kedua dan ketiga diatas termasuk penyelesaian dalam jangka panjang.
Cara penyelesaian kedua adalah dengan jalan kultural. Cara penyelesaian ini penting untuk didorong untuk mendukung sistem yang ada (supporting system). Intinya adalah bagaimana membangun budaya yang kondusif untuk mengatasi problematika masyrakat miskin desa. Beberapa hal salah satunya dengan menggali lagi local wisdom yang dimiliki dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Lokal wisdom dikebanyakan desa adalah rasa persaudaraan dan kebersamaan antar masyarakat. Dari sini akan melahirkkan budaya gotong royong termasuk juga dalam gotong royong dalam perekonomian. Ilustrasi simpel ketika ada warga yang mengalami kesulitan ekonomi atau kesulitan apapun, dengan rasa persaudaraan warga lain tidak akan sungkan untuk menolong warga yang mengalami kesulitan. Maka jika ini menjadi budaya yang masif, tentu permasalahan kemiskinan desa dapat ditekan. Yang kedua adalah membangun budaya yang respect terhadap kebijakan positif pemerintah. Dengan cara mensosialisasikan dan ikut menyukseskan kebijakan pemerintah tersebut. Apalagi kini ruang aspirasi desa sudah dibuka seluas-luasnya dalam era otonomi daerah. Dalam penyusunan anggaran contohnya pemerintah berusaha turun kedesa dan kecamatan untuk mendengarkan aspirasi secara langsung. Harusnya ini dapat dimanfaatkan masyarakat desa untuk menyampaikan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat di desanya.
Menjalankan berbagai solusi diatas tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh banyak dukungan untuk menjalankannya, terutama yang paling ditunggu adalah kebijaksanaan pemerintah. Apakah cukup dengan kebijakan menutup lubang atau lebih hebat lagi setelah menutup lubang lalu dilapisi dengan beton agar tidak berlubang lagi? Operasi yustisi dengan orientasi jangka pendek haruslah di dibarengi dengan kebijakan jangka panjang, tidak lain dan tidak bukan adalah dengan membangun kesejahteraan di desa-desa yang masih dilanda kemiskinan. Didukung dengan budaya masyarakat bergotong royong membangun perekonomian bersama, mungkin urbanisasi tidak akan menjadi ancaman bagi negara ini.
Fenomena Urbanisasi Pasca Lebaran; Transfer Orang Miskin Ke Kota