Tulisan ini saya buat sebagai bentuk usaha untuk mempertahankan Pancasila, UUD 1945, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta cita-cita Kemerdekaan adil dan makmur.
Saya harus jujur dalam hal merangkai kata-kata kurang begitu indah, namun semua yang saya tuliskan sesuai dengan fakta serta kejadian, dan saya selalu mencari solusi atas kejadian tersebut, walaupun terkadang buntu karena kekuatan politik serta aktor pemain utama, namun menjadi pengalaman baru bagi saya, serta memicu semangat untuk mengetahui bagaimana pemerintah menerapkan aturan dan peraturan
.
Kasus Pertama
Pada medio tahun 2004 sampai 2007 saya membongkar kasus pencurian asset Pemprov.DKI Jakarta yaitu lahan eks Walikota Jakarta Barat seluas 15.700 m2, yang dilakukan oleh Yayasan Sawerigading, saya lupa bisa mendapatkan data-data akurat mengenai tanah tersebut, lahan eks Walikota Jakarta Barat sudah dikuasai Pemprov DKI Jakarta sejak Tahun 1972, awalnya tanah tersebut eks vervonding No 5961 dengan luas 66.700 m2 yang dikuasai penggarap, pada tahun 1954 telah dilakukan pelepasan hak terhadap para penggarap. Pada Tahun 1972 Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Keputusan melalui surat DA 11/2/29/1972 mengenai penetapan peruntukan tanah tersebut sbb; untuk Kantor Walikota Madya Jakarta Barat seluas 15.700 m2, Universitas Tarumanegara 14.650 m2 dan Sudiono seluas 6.580 m2, untuk Ny. Rumini Sudirgo seluas 9.930 m3, Abdullah Marikar 3.750 m2, dan Munawar 4.425 m2. Atas keputusan tersebut beberapa pihak tidak setuju dan melakukan gugatan ke pengadilan, pihak penggugat kala itu adalah Yayasan Sawerigading, namun ditolak oleh pengadilan.
Pada tahun 2005 Setifikat asli Hak Pakai atas tanah eks Walikota Jakarta Barat, seluas 11.765 m2, sertifikat asli Hak Pakai atas tanah Balaikota No P 24/1980 dan sertifikat asli No P 68/1980 hilang dari arsip,sementara Yayasan Sawerigading Jakarta melakukan gugatan dan dimenangkan oleh pengadilan Jakarta Barat.
Sesuai info yang saya dapat konspirasi tersebut dikelola oleh tokoh-tokoh partai untuk menguasai lahan Eks Walikota Jakarta Barat dan Balai Kota DKI Jakarta.
Karena tidak ada penuntasan dan keputusan atas tanah tersebut sampai 2008, maka saya mencoba mendalami kasus tersebut dengan cara mengikuti kuliah hukum, maka pada saat memenuhi syarat agar menjadi Sarjana Hukum maka saya mengangkat kasus perdata eks Walikota Jakarta Barat sebagai Sikripsi, dan saya mendapatkan Gelar Sarjana Hukum karena kasus Eks Walikota Jakarta Barat pada Tahun 2012.
Sampai saat ini kepastian hukum atas tanah eks Walikota Jakarta Barat, serta hilangnya sertifikat 3 sertifikat Hak Pakai milik Pemprov.DKI Jakarta tidak diproses secara hukum. Politik lebih tinggi dari pada hukum.
Kasus Kedua
Pada tahun 2019, saya melibatkan diri untuk membantu seorang calon Anggota BPK mengurus dokumen yang dibutuhkan, untuk memenuhi persyaratan yang dibuat oleh pansel Komisi XI, setelah membaca UUD 1945 Pasal 23 E, UU No 15 Tahun 2006 serta Tatib DPR Nomor 1 Tahun 2014, ternyata persyaratan yang dibuat pansel bertentangan dengan aturan dan peraturan tersebut.
Namun pansel tidak menghiraukan kritik dan saran dari masyarakat, pempinan DPR serta Ketua Umum Partai, atas kecurangan dan konspirasi Komisi XI yang telah mengatur calon Anggota BPK, dimana pemilihan yang dilakukan hanya sebagai kamuflase sebab Komisi XI telah menetapkan 5 calon anggota BPK yang harus dimenangkan.
Atas kasus tersebut saya melaporkan Pansel yang dibentuk Komisi XI dalam penyaringan calon anggota BPK yang penuh dengan kecurangan, korupsi, kolusi dan nepotisme kepada Dewan Kehormatan DPR, laporan tersebut ditindaklanjuti melalui sidang kehormatan Dewan, namun apa hasil dan putusan yang saya laporkan sampai saat ini tidak pernah diberitahukan oleh Dewan Kehormatan DPR yang saat itu dikomandoi oleh saudara Sufmi Daco Ahmad.
Bahkan KPK tidak berani masuk atau membongkar kasus perekrutan calon Anggota BPK yang penuh dengan koruptif, kolusi dan Nepotisme. Dan secara resmi saya mengingatkan Presiden untuk tidak mengeluarkan Kepres untuk Pelantikan ke 5 Anggota BPK yang dipilih dan ditetapkan oleh DPR melalui Paripurna karena melanggar Pancasila, UUD 1945 dan peraturan lainnya. Namun Presiden tetap mengeluarkan Kepres.
Secara jujur bukan kalah menang yang saya kejar, namun bagaimana DPR dan pemerintah menjalankan Pancasila, UUD 1945 serta perundang-undangan yang berlaku. Awalnya saya penasaran dan kesal melihat sikap DPR dan Pemerintah atas sikap mereka yang selalu melanggar Pancasila, UUD 1945 serta perundang-undangan yang berlaku.
Atas kejadian tersebut pada tahun 2019 saya mencoba memperdalam ilmu dibidang hukum, lalu saya kuliah mengambil Magister Hukum, untuk mendalami pengalaman tersebut, jangan-jangan saya salah dalam memahami dan menterjemahkan pasal-pasal yang dilanggar DPR dan Pemerintah.
Sembari kuliah saya mengikuti proses pemilihan anggota BPK yang dilakukan DPR pada tahun 2020, 2021 dan tahun 2022, ternyata pelanggaran yang dilakukan semakin parah, tidak ada lagi kekhawatiran untuk melanggar Pancasila dan UUD 1945.
Melihat hancurnya sistem pemerintahan maupun hukum saya memilih judul tesis saya “Kedudukan Partai Politik Terhadap Hak Konstitusional Rakyat Untuk Memilih Pemimpin Pada Pemilihan Umum Berdasarkan Aspek Keadilan” pemikiran saya bahwa semua muara persoalan yang ada di Indonesia berasal dari partai, untuk menjadi anggota DPR harus melalui Partai, mencalonkan Presiden harus Partai, sementara pemilik hak suara adalah rakyat Indonesia.
Sementara alasan saya memilih judul tersebut, suara yang diserahkan rakyat kepada Partai menjadi keuntungan yang begitu banyak bagi partai, diantaranya tiap tahun dapat anggaran dari APBN maupun APBD, mendapat jatah jabatan Menteri, Komisaris, Irjen, Dirjen, menentukan Kapolri, KPK, Hakim Agung, Anggota BPK, serta lembaga-lembaga negara lainnya.
Partai tidak pernah bergeming atas pelanggaran terhadap Pancasila, UUD 1945 dan Perundang-undangan yang berlaku yang dilakukan anggotanya di DPR maupun Presiden yang diusung.
Sementara rakyat terus digerogoti melalui pajak, iuran,dll. penegakan hukum yang tidak berkeadilan, kebutuhan atas Pendidikan yang mahal dan sulit, kebutuhan akan Kesehatan yang mahal dan sulit, perekonomian yang merata, yang pasti suara yang diberikan rakyat pada saat pemilu menjadi kehancuran bagi rakyat itu sendiri. Yang seharusnya menikmati keadilan dan kemakmuran.
Pada Tanggal 17 Maret 2022 saya telah mempertahankan Tesis saya dihadapan Dosen penguji dan dinyatakan lulus dan berhak memakai gelar M.H dengan Indeks Prestasi Komulatif Cukup Makan. Dan juga telah di Wisuda pada 17 Januari 2023.
Dengan bertambahnya pengetahuan Hukum Tata Negara, serta pengalaman menangani kasus diatas, dan pengalaman menjadi Tim Sukses maupun relawan, saya mencoba melakukan Analisa terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.
.
Saya mulai dari runtuhnya orde baru dan terbentuknya Reformasi, tahun 1998 elit poltik, tokoh masyarakat, serta mahasiswa bersepakat untuk menggulingkan Presiden Soeharto secara inkonstitusional atas tuduhan, otoriter, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, rakyat tidak percaya terhadap lembaga Kepolisian dan Kejaksaan serta Amandemen UUD 1945.
Usaha penggulingan Soeharto secara inkonstitusional berjalan dengan lancar, Soeharto mengundurkan diri secara jiwa besar atas tuduhan yang dilontarkan dihadapan seluruh rakyat Indonesia.
Dengan lengsernya Soeharto, maka dibentuk pemerintahan transisi yang bertugas untuk memperisiapkan Pemilu untuk membentuk pemerintahan yang baru, serta mengamandemen UUD 1945.
Pada tahun 1999 pemerintah transisi mengadakan pemilihan umum untuk memilih pemerintahan yang baru, dimana pada saat itu partai pemenang Pemilu adalah PDIP, namun pada saat pemilihan Presiden, azas negara Pancasila dan UUD 1945 diabaikan hanya untuk menghambat Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menjadi calon Presiden, segala skenario diciptakan yang terpenting bukan Wanita yang menjadi Presiden.
Untuk mencairkan suasana yang buntu maka disepakati Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden dan Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden, walaupun penetapan Gus Dur sebagai Presiden bertentangan dengan syarat yang telah ditetapkan pada UUD 1945.
Gus Dur sebagai Presiden menjalankan pemerintahan yang sangat terbuka dan transparan, bahkan pernyataan-pernyataan Gus Dur sebagai Presiden selalu menjadi fenomenal, Gus Dur juga berani merobohkan tembok-tembok yang menciptakan ketidakadilan seperti pembangunan rumah ibadah yang tidak berkeadilan, kesenjangan minoritas dengan mayoritas,dll
Sikap Gus Dur tersebut ternyata menjadi persoalan baru terhadap elit politik dan tokoh masyarakat, sehingga Pada Tanggal 23 Juli 2001 melalui sidang Istimewa MPR Gusdur dilengserkan dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri.
Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden membuat terobosan baru dengan Otonomi daerah, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, dll. namun pada masa jabatannya Megawati tersandung kasus penjualan Indosat, Kapal Tanker serta mengampuni para perampok uang negara yang dikenal dengan BLBI, dan sampai saat ini kasus BLBI belum tuntas.
Pada Pemilu tahun 2004 awal dimulainya pemilihan secara langsung dimana rakyat dapat memilih langsung wakil mereka di DPR, DPD, dan DPRD serta memilih langsung Presiden dan Wakil Presiden. Pada Pilpres Tahun 2004-2009 Presiden terpilih adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menjelang akhir kekuasaan Presiden SBY pada tahun 2009 terjadi kasus yang mengganggu stabilitas nasional yang kita kenal dengan Century Gate, Adapun inti dari kasus tersebut adalah pemerintah melakukan perampokan uang negara melalui Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) dengan alasan penyelamatan Bank Century, atas penyelamatan Bank Century keuangan negara bobol sebesar Rp 6.7 triliun. Sampai saat ini kasus century gate tidak dapat dituntaskan sesuai dengan hukum, sementara Bank Century telah berganti nama untuk menghilangkan jejak.
Pada Pilpres Tahun 2009 Susilo Bambang Yudhoyono terpilih Kembali menjadi Presiden masa bhakti 2009-2014, pada periode ke dua SBY, kasus Korupsi, Kolusi, Nepotisme semakin subur dan liar, terpilihnya Antasari sebagai Ketua KPK membawa angin segar karena berani menangkap besan Presiden SBY atas kasus dana Yayasan Pengembangan Perbangkan Indonesia (YPPI) sebesar Rp 100 miliar pada tahun 2003, Aulia Pohan sebagai besan SBY divonis bersalah dan dihukum 4,5 tahun.
Namun ketegasan dan keberanian Antasari membongkar kasus-kasus besar akhirnya kandas, sebab Antasari sebagai ketua KPK dikriminilisasi dan dipenjarakan atas kasus yang telah direkayasa.
Korupsipun semakin menggila dan semakin tidak terkontrol apalagi kader-kader Partai Demokrat, sebagai partai besutan SBY, semakin banyak yang terjerat kasus korupsi.
Pada saat pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat Tahun 2010, Anas Urbaningrum terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Atas kemenangan Anas Urbaningrum tersebut SBY tidak setuju, untuk menganulir kemenangan yang diraih Anas Urbaningrum diciptakan skenario membongkar kasus korupsi yang dilakukan oleh Bendahara Umum Partai Demokrat yang saat itu dijabat oleh Nazaruddin, ternyata kasus korupsi yang dilakukan oleh Bendum Partai Demokrat menggurita dan melibatkan banyak orang, bahkan anggota maupun pimpinan DPR serta Pejabat Negara, namun kasus korupsi tersebut tidak dituntaskan secara menyeluruh karena diduga keluarga SBY juga terlibat, yang terpenting sebagai target utama Anas Urbaningrum sudah terjerat kasus korupsi, Akhirnya Anas ditersangkakan dalam kasus Hambalang.
Pilpres Tahun 2014 Presiden terpilih adalah Joko Widodo untuk periode tahun 2014-2019, dalam Pilpres tahun 2014 pertarungan 2 kandidat Capres sangat ketat, mengingat Prabowo berhadapan dengan Jokowi, sementara pada saat Jokowi mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta partai Gerindra salah satu partai pengusung dan pemodal.
Pengkhianatan yang dilakukan Jokowi terhadap Prabowo dalam bursa calon Presiden mengakibatkan suhu politik yang membara, apalagi sebagian partai tidak menginginkan Prabowo sebagai Presiden, maka segala cara dilakukan untuk menghadang Prabowo agar tidak menjadi pemenang pada Pilpres tahun 2014, bahkan server KPU mengalami gangguan selama dua jam pada saat Pemilu Tahun 2014.
Banyak spekulan yang terjadi pada saat server KPU terganggu selama dua jam, tapi yang pasti ada bentuk kecurangan untuk memindahkan suara Prabowo ke Capres Jokowi, menurut pengamat politik saat itu, sebab kasus tersebut tidak dilakukan pengusutan secara hukum.
Pada periode kepemimpinan Jokowi, pembangunan dilakukan secara jorjoran sehingga menimbulkan bengkaknya utang negara, sementara program mobil Nasional Esemka dan pembelian Kembali Indosat, tidak dilakukan oleh Jokowi.
Pilpres yang diadakan pada tahun 2019, pertarungan antara Jokowi dengan Prabowo Kembali terulang, suhu politikpun semakin membara, dikarenakan janji Jokowi tentang Mobil Nasional Esemka tidak terealisasi, bahkan janji kampanye Jokowi tidak boleh rangkap jabatan namun pada kenyataannya 50% pejabat pemerintah rangkap jabatan.
Persyaratan Pilpres tahun 2019 diatur pada Pasal 6A UUD 1945 serta UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu
UUD 1945 pasal 6A yang berbunyi;
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.***)
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. ***)
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.***)
(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.****)
(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.***)
Serta UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Pasal 416 yang berbunyi;
- Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari. jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia
- Dalam hal tidak ada Pasangan Calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 2 (dua) Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
- Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 2 (dua) Pasangan Calon, kedua Pasangan Calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
- Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh 3 (tiga) Pasangan Calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih. luas secara berjenjang
- Dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumtah yang sama diperoleh oleh lebih dari 1 (satu) Pasangan Calon, penentuannya dilakukan berdasarkan persebaran wilayah. perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang
Sesuai dengan aturan tersebut hasil perolehan suara kedua calon Presiden Tahun 2019 tidak ada yang memenuhi apa yang telah ditetapkan Oleh UUD 1945 pasal 6A dan UU No 7 Tahun 2017.
Namun Komisi Pemelihan Umum (KPU) membuat aturan sendiri yang bertentangan dengan UUD 1945 pasal 6A serta UU No 7 Tahun 2017 pasal 416 yaitu Peraturan KPU No 5 Tahun 2019 Tentang Penetapan Calon Terpilih. Dimana pada pasal 3 KPU menyisipkan pada ayat 7; Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih
Namun Partai pendukung Jokowi tidak menginginkan dilakukan pemilihan ulang, sebab dapat dipastikan Jokowi pasti kalah bila dilakukan pemilihan ulang, segala cara dilakukan oleh kubu pendukung Jokowi agar tidak dilakukan pemilihan ulang.
Kubu Prabowo melakukan gugatan ke MK atas hasil Pilpres tahun 2019, namun MK menolak dengan segudang dalil. (apakah ada hubnya dengan Ketua MK menjadi ipar Jokowi? Biar waktu yang menjawab)
Kemudian saya dan adek-adek menggugat PKPU No 5 Tahun 2019 ke Mahkamah Agung yang terregistrasi dengan Nomor 40.P/HUM/2019 perihal Permohonan Uji Materi Peraturan KPU No 5 Tahun 2019 pasal 3 ayat 7, tertanggal 6 Mei 2019, seluruh persyaratan yang dikeluarkan oleh MA sudah terpenuhi, bahkan biaya pendaftaran perkara sebesar Rp. 1.200.000 sudah dibayarkan, namun sampai saat saya membuat tulisan ini tidak ada Putusan atas perkara yang kami ajukan.
Akhirnya Jokowi ditetapkan sebagai pemenang Pilpres tahun 2019 dengan segala konsekuensi yang ada yaitu kemenangan Jokowi tidak sah karena melanggar UUD 1945 dan UU No 7 Tahun 2019 Tentang Pemilu.
Semenjak periode 2014-2019 dan periode 2019-2024 pemerintahan Jokowi dan DPR telah berkali-kali melanggar Pancasila dan UUD 1945, seperti pemilihan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Tahun 2019, 2021, 2022, Pengesahan UU IKN, UU Cipta Kerja, UU KUHP.
Jokowi sebagai Presiden juga menggunakan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk merampok uang negara, sama seperti apa yang dilakukan Presiden SBY. Perbedaannya Jokowi mengeluarkan 1 (satu) Perppu No.1 Tahun 2020 sementara SBY mengeluarkan 3 (tiga) Perppu untuk merampok uang negara.
Korupsi, Kolusi dan Nepotismepun berkembang biak ibarat jamur dimusim penghujan di era kepemimpinan Jokowi, Ipar Jadi Ketua MA, Anak Jadi Walikota, Menantu Jadi Wali Kota, Anak Calon Walikota, virus korupsi menyebar keseluruh sendi-sendi lembaga negara, partai, tokoh masyarakat, seluruh lembaga hukum, bahkan saat ini virus korupsi tersebut sedang disebarkan kepada masyarakat luas.
Menjelang Pilpres Tahun 2024 yang akan datang mulai tahun 2022 Partai, Elit Politik dan lembaga survey sudah kasak-kusuk menggiring opini siapa saja yang layak menjadi Presiden.
Salah satu capres yang digadang-gadang adalah Anies Baswedan, walaupun sebenarnya pada akhir tahun 2019 Ketua Umum Nasdem sudah memberikan sinyal melalui pernyataannya, bahwa Anies calon Presiden berikutnya, pada saat Anies Baswedan bertandang ke Kantor DPP Partai Nasdem.
Setelah adanya pernyataan Ketua Umum Nasdem bahwa Presiden berikutnya yang akan diusung Nasdem adalah Anies, kantor DPP Nasdem berdiri megah saat ini di Jalan Gondangdia Menteng, kemungkinan besar deal Ketua Umum Nasdem dengan Gubernur Anies pada pertemuan dikantor DPP Nasdem adalah pembangunan Gedung DPP Partai Nasdem
Untuk memenuhi janji yang telah disepakati, tugas Anies untuk membangun Gedung Kantor DPP sudah selesai, maka pada tanggal 3 Oktober 2022 Partai Nasdem resmi mengusung Anies Baswedan sebagai calon Presiden Tahun 2024, keputusan Partai Nasdem tersebut sontak membuat suhu politik membara, bahkan hubungan Surya Paloh sebagai Ketua Umum Partai Nasdem dengan Jokowi sebagai Presiden sempat renggang, Ulang Tahun Partai Nasdem Jokowi tidak hadir, mengucapkan selamatpun tidak, kemudian Ketika Jokowi hajatan atas pernikahan putranya tidak mengundang Surya Paloh.
Atas sikap partai Nasdem Presiden Jokowi berencana memecat Menteri dari Partai Nasdem, namun Surya Paloh melakukan manuver-manuver politik yang mengganggu pemerintahan Jokowi, sehingga Jokowi mengundang Surya Paloh ke istana Presiden untuk mencari jalan keluar, dan Reshuffle kabinetpun batal dilakukan.
Namun Anies lupa akan janjinya kepada Prabowo Subianto yang telah diucapkan dan di ikrarkan Anies melalui media cetak, elektronik, TV dan Media sosial, bahwa Anies Baswedan tidak akan maju jadi calon Presiden apabila Prabowo Subianto maju Calon Presiden.
Akhirnya Anies menghianati ucapan yang telah diucapkan dihadapan publik bersedia diusung Partai Demokrat sebagai calon Presiden. Melihat sikap dan keputusan Anies Baswedan saya jadi teringat kala menjadi salah satu Tim Relawan yang terdaftar di KPUD DKI Jakarta, karena janji dan ucapan Anies pada Pilkada tidak akan memberikan ijin terhadap pengembang Reklamasi Pantai Utara, namun dalam perjalanannya setelah ada deal-deal atas persetujuan Anies sebuah tim kecil dibentuk untuk membuat skenario agar reklamasi pantai utara tetap dapat berjalan, adapun skenario yang diputuskan, tim kecil tersebut mengusulkan pengembang rekalmasi pantai utara untuk melakukan gugatan terhadap Pemprov.DKI Jakarta, apapun keputusan dari gugatan tersebut Pemprov. DKI Jakarta akan menghormati dan menjalankan putusan tersebut, skenario itu berjalan dengan lancar.
Disamping itu janji Anies akan membuka lapangan pekerjaan untuk 200.000 orang pertahun, Rumah DP 0% bagi rakyat yang tidak mampu tidak berjalan sebagaimana mestinya, namun Anies membuat program baru diluar janji kampanyenya, dan yang paling konyol adalah keinginan Anies untuk menyelenggarakan Formula E,dimana harus merusak Monas sebagai Cagar Budaya, serta menebang pohon yang merupakan paru-paru kota, Biaya untuk pelaksanaan Formula E dibiayai oleh APBD, maka medio Oktober 2019 saya dan teman-teman secara resmi mencabut dukungan terhadap Anies Baswedan. Sebab kami merasa sudah tidak sejalan dalam pemikiran, bertindak dan berbuat, karena saya meyakini Formula E akan menjadi kasus dikemudian hari mengingat aturan dan peraturan yang dilanggar.
Kekacauan setiap menjelang Pemilu dan Pilpres menjadi hal biasa bagi partai, elit politik dan tokoh masyarakat, sementara UUD 1945, maupun perundang-undangan telah mengatur mekanisme pemilu dan PIlpres.
Saya berpandangan pada prinsipnya masalah yang sangat serius pada bangsa Indonesia setiap menjelang Pemilu dan Pilpres adalah sikap pengkhianatan yang terus berulang-ulang.
Pada tahun 2014 Jokowi Berkhianat kepada Prabowo Subianto, apakah rakyat akan tetap mendukung seorang pengkhianat menjadi Presiden?
Pada Tahun 2019 KPU berkhianat terhadap Pancasila, UUD 1945 dan UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, melalui PKPU No 5 Tahun 2019 Tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, dimana pada pasal 3, ayat 7, Komisioner KPU membuat aturan yang tidak sesuai dengan aturan dan peraturan diatasnya.
Maka dari hasil Analisa dan pengalaman bahwa bangsa Indonesia sedang menghadapi era pengkhianatan, baik secara pribadi, maupun kelompok, baik dalam pemerintahan maupun bernegara.
Apakah Era Pengkhianatan ini akan terus dipertahankan atau Kembali kepada Pancasila dan UUD 1945, itu semua tergantung pada Partai, Elit Politik, Tokoh Masyarakat, serta seluruh rakyat Indonesia.
Lalu timbul dalam benak saya apakah musibah yang sedang dihadapi bangsa Indonesia seperti bencana alam, Gempa, Banjir, Gunung Meletus yang terus berlanjut sampai sekarang, Tsunami, Kasus Pembunuhan Brighadir Yosua, Kasus Kanjuruhan yang menalan korban meninggal 135 orang, luka ringan dan berat 400 orang, pencurian uang rakyat melalui investasi bodong karena kami sebagai rakyat, mengamini dan mendukung pengkhianat?
Atau Partai, Elit Politik, Tokoh masyarakat, maupun aktifis yang dulunya menghujat dan menghakimi Soeharto dan Orde Baru, sebagai pemerintahan yang Otoriter, KKN, Dwifungsi ABRI, Kejaksaan dan Kepolisian tidak bekerja untuk rakyat, tapi jadi alat penguasa dan pengusaha, dinasti politik?
Sehingga tuduhan-tuduhan yang tidak dapat dibuktikan tersebut, justru dilakukan sendiri oleh Partai, Elit Politik, Tokoh Masyarakat, aktifis, Kejaksaan, Kepolisian dan Lembaga-lembaga negara pada rezim Reformasi seperti, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang tumbuh sesubur-suburnya, dinasti politik, Lembaga Kepolisian yang tersandera oleh penguasa melalui korupsi internal, Lembaga Kejaksaan yang melindungi dan menyelamatkan Koruptor dan Dwifungsi Polri.
Yang pasti sikap berkhianat adalah suatu perbuatan tidak terpuji, orang yang melakukan pengkhianatan akan menerima imbalannya. Menuduh juga perlu pembuktian atas apa yang dituduhkan, apabila tiidak terbukti maka yang menuduh akan melakukan dan mempraktekkan tuduhannya dalam kehidupannya.
#Lebih Baik dibenci karena mengucapkan kebenaran, daripada dipuja-puji karena sikap berkhianat dan Munafik
Tetaplah miliki dan tumbuhkan Budi Pekerti, Kebijaksanaan, serta Kesadaran.
Penulis:
Tomu Augustinus Pasaribu S.H, M.H