Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang menjadi salah satu agenda reformasi untuk meruntuhkan Rezim Orde Baru ternyata semakin menjamur pada rezim Reformasi, hal tersebut dikarenakan sisitem yang dibangun dalam Pemberantasan Korupsi melalui Lembaga KPK tidak serius serta hanya sebagai alat mainan politik.
KPK tidak mampu dalam melakukan tugasnya secara serius dikarenakan diintervensi kekuatan politik maupun lembaga negara, penyidik, maupun organ-organ penting di KPK diisi oleh lembaga yang sudah gagal dalam pemberantasan korupsi, seperti Kejaksaan dan Kepolisian.
Disamping itu yang dipilih untuk menduduki Pimpinan KPK juga dari Lembaga Kepolisian dan Kejaksaan, alhasil apa yang diharapkan rezim reformasi mustahil untuk dapat berhasil, metode pemilihan Pimpinan KPK juga yang harus melalui kekuatan politik di DPR mengakibatkan KPK tidak dapat menjadi tidak dapat indipenden.
Saat ini korupsi sudah dilakukan secara merata dari Lembaga Tinggi Negara, sampai kepada level terendah pemerintahan yaitu pengurus Rt, Rw.
KPK, Kepolisian, Kejaksaan sebagai lembaga hukum yang seharusnya memberantas korupsi juga sudah terlibat dengan korupsi itu sendiri melalui kinerja maupun perilaku individu, lembaga hukum yang didirikan dan yang sudah ada tidak mampu menjaga maupun membangun sebuah benteng agar tidak terjebak dengan korupsi.
Sementara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memiliki fungsi control terhadap kebijkan dan berjalannya roda pemerintahan, menjadi sebuah lembaga yang menciptakan bagaimana korupsi itu mengalir jauh sampai ke level terendah, melalui hak budgeting yang dimiliki, bahkan dalam pembahasan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) DPR dan Pemerintah membagi-bagi APBN tersebut secara merata sesuai dengan kebutuhan mereka baru disetujui melalui Paripurna DPR.
Partai sebagai Tonggak Demokrasi yang menguasai DPR dan sebagai Pengawas dalam jalannya roda pemerintahan, tidak melaksanakan tugasnya agar DPR dan Pemerintah tetap berjalan dalam koridor, namun partai sibuk menempatkan kader-kadernya diposisi yang sangat strategis.
Saat ini Pemerintah Indonesia jatuh dalam jurang kehancuran dikarenakan korupsi yang mengakibatkan Utang Negara mencapai Rp 7700 Triliun, lalu pemerintah sibuk mencari kambing hitam.
Saat ini Pemerintah lagi pusing dengan korupsi yang semakin subur, sebab IPK pemerintah menurun dalam hal pemberantasan korupsi. Wajar pemerintah Indonesia mendapat IPK yang rendah atas kegagalannya dalam pemberantasan korupsi, sebab pemerintah sedang menjalankan program penyuburan terhadap korupsi.
Sebab tidak ada keraguan untuk melakukan korupsi walaupun harus menghilangkan mengorbankan banyak nyawa maupun merusak hukum seperti, kasus kanjuruhan, Kasus Brighadir Yosua, Kasus E KTP, Kasus Pengadaan 1000 unit Bus Way.
Sementara melalui hukum, seperti, Perppu No 1 Tahun 2020, UU Cipta Karya, UU KUHP, Kasus Indo Surya, Kasus Jiwas Raya, Kasus Surya Darmadi, Asabri, Kasus Tambang, Pencurian Uang rakyat melalui investasi bodong, Pengadaan Helikopter di Mabes Polri senilai Rp 2.4 Triliun.
Atas kasus-kasus tersebut sulit pemerintahan Jokowi untuk menghindar terhadap keberadaan korupsi yang sudah melebar kemana-kemana seperti Virus Covid-19.
Oleh;
Tomu Augustinus Pasaribu S.H, M.H