JAKARTA, SUARAINVESTOR.COM – Pimpinan DPD RI dalam Kebersamaan, sebelum menghadiri pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wapres KH. Ma’ruf Amin di Kompleks MPR RI, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019).
Seperti tampak dalam gambar dari kiri ke kanan terdiri dari Sekjen DPD RI Reydonnyzar Moenek, Wakil Ketua III DPD RI Sultan B. Najamudin (2019), Irman Gusman (Ketua DPD RI periode 2009-2014 dan 2014-2017), Oesman Sapta Odang (OSO/Ketua DPD RI periode 2017-2019), AA Lanyalla Mahmud Mattalitti (Ketua DPD RI 2019-2024).
Selanjutnya Ginandjar Kartasasmita (Ketua DPD RI periode 2004-2009), Mahyudin (Wakil Ketua II DPD RI), Yorrys Raweyai (Anggota DPD RI Provinsi Papua), Bustami Zainudin (Anggota DPD RI Provinsi Lampung) saat foto bersama.
*) Tom Pasaribu
Sejak berdirinya NKRI, Indonesia sudah memiliki 7 orang presiden. Namun yang cukup fenomal adalah saat Soeharto berkuasa. Ada sebagian publik yang mencap Soeharto, sebagai diktator. Padahal Soeharto merupakan sosok yang tegas dalam menjalankan dan mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 selama masa dalam kepemimpinannya.
Ketegasan Soeharto dalam memimpin sepertinya membuat kelompok radikalisme dan separatis tidak dapat berkembang di Indonesia. Padahal, kelompok radikal dan separatis terus mencoba dengan segala cara untuk dapat melakukan aksi mereka agar tujuannya tercapai.
Namun Soeharto sebagai Presiden tidak memberikan kesempatan terhadap kelompok radikal dan separatis untuk mempengaruhi rakyat. Sebab tanpa dukungan dari rakyat, gerakan radikal dan separatis tidak akan dapat berkembang. Hal ini yang membuat kelompok radikal dan separatis sangat membenci Soeharto.
Akhirnya di saat krisis moneter terjadi secara menyeluruh di Asia pada 1998, situasi ini dimanfaatkan kelompok radikal dan separatis merangkul kelompok nasional, untuk menggulingkan Soeharto.
Mereka mengusung tujuan dan agenda masing-masing. Beragam cara dilakukan supaya rakyat membenci Soeharto dan rakyat mau mendukung rencana kelompok radikal, separatis dan nasionalis tersebut.
Untuk memenuhi keinginannya, maka isu propaganda yang diusung, adalah, Soeharto pemimpin yang diktator, korupsi, kolusi dan nepotisme. Ternyata isu yang dihembuskan berhasil menyulut amarah rakyat pada saat itu, sehingga Soeharto lengser dari kekuasaannya.
Namun rakyat tidak sadar bahwa sosok seorang Soeharto bukanlah orang yang diktator dan koruptor. Hal ini dapat dibuktikan dengan sikap Soeharto saat situasi negara genting beliau tidak menggunakan pasal 22 UUD 1945 yang berbunyi, Dalam hal ihwal kegentingan memaksa Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
Artinya Soeharto dapat mengeluarkan Perppu untuk memaksa kekuatan militer dan kepolisian untuk mengamankan situasi yang tidak kondusif demi mempertahankan jabatannya sebagai Presiden.
Tetapi Soeharto tidak melakukan hal tersebut sebagai bentuk rasa sayangnya terhadap rakyat Indonesia secara menyeluruh dan Ibu Pertiwi.
Soeharto akhirnya memilih mundur dengan baik sesuai konstitusi. Sikap Soeharto ini menunjukkan sikap yang bijaksana dan jiwa kesatria kepada seluruh rakyat dan patut kita teladani.
Runtuhnya Orde Baru ternyata sangat mempengaruhi seluruh sendi-sendi kehidupan rakyat Indonesia, serta pola pikir dan budaya. Pemikiran-pemikiran logis mulai tersisih dengan pemikiran yang tidak logis. Bahkan pemikiran yang tidak logis akan mendapat dukungan dari rakyat dan elit partai.
Masa Orde Baru telah tutup buku, yang kemudian lahirlah rezim reformasi dengan mengusung agenda pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme. Sayangnya agenda yang diusun rezim reformasi justru menyuburkan sikap diktator, korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sebagai bukti sikap diktator yang semakin subur adalah bila seorang politikus memperjuangkan kepentingan rakyat yang kebetulan berseberangan dengan kepentingan partai dan ketua umum, atau tidak senang terhadap anggotanya, maka politikus yang dianggap sebagai duri akan ditutup ruang geraknya di segala bidang, bila perlu dipecat.
Dan yang paling hebat di rezim reformasi yang mengusung agenda pemberantasan KKN malah semakin berani dan terang-terangan melakukan KKN melalui pengurus partai. Mulai dari ketua umum sampai pengurus partai di desa. Barang siapa anggota partai yang berani mengusik so pasti kena sanksi atau tergusur.
Dalam rezim reformasi ini perampasan terhadap hak-hak professional semakin gencar dilakukan agar seluruh jabatan vital yang ada di setiap lembaga negara sesuai dengan amanah UUD 1945 dikuasai dan diisi oleh anggota-anggota partai. Walaupun seharusnya posisi jabatan itu selayaknya diisi oleh profesional melalui seleksi yang ketat.
Di rezim reformasi, penggelapan uang rakyat yang dikelola negara, maupun pinjaman negara yang dibebankan kepada seluruh rakyat dilakukan dengan cara menggunakan aturan dan peraturan agar penyelewengan uang rakyat yang dilakukan oleh pejabat dan kelompoknya tidak dapat tersentuh oleh hukum.
Bila kita bandingkan dengan masa pemerintahan Orde Baru dan Rezim Reformasi sebagai intropeksi diri bangsa terhadap pemimpin-pemimpinnya yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat Indonesia secara menyeluruh serta membuahkan hasil, maka dengan segala kekurangannya saya akan memilih rezim Orde Baru.
Alasannya bahwa pada saat Orde Baru berkuasa keamanan, ekonomi dan politik sangat kondusif. Bahkan dalam Pelita III Orde Baru, Soeharto berhasil membawa bangsa ini menjadi lumbung pangan.
Sementara saat rezim reformasi yang sudah berkuasa selama 21 tahun, sepertinya belum ada keberhasilan yang sangat signifikan. Justru pada rezim reformasi yang berhasil dikembangkan adalah kemunafikan, kekerasan, hoaks, buzzer, lembaga-lembaga negara terpapar dengan paham radikal, serta janji-janji palsu.
Belum lagi perekonomian yang merosot akibat krisis 1998 di Asia secara menyeluruh sampai saat ini belum dapat dipulihkan dikarenakan koruptor yang tumbuh begitu pesat.
Masa rezim reformasi kegaduhan politik juga lebih intens terjadi, tidak ada kepastian hukum, KKN sangat subur bahkan tokoh-tokoh pencetus reformasi pun terlibat aktif atas suburnya KKN.
Kondisi dan situasi tersebut wajar terjadi di rezim reformasi dikarenakan pola yang digunakan para ketua umum partai memakai sistem ppersaingan tidak sempurna. Dengan demikian semangat Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika menjadi terabaikan karena tidak selaras dengan perjuangan partai dan elit politik.
Semangat yang dibangun para ketua umum partai saat ini adalah bagaimana menggeser kekuasaan seorang Presiden, agar kekuasaan Presiden berpindah kepada para ketua umum partai pengusung.
Hal ini supaya hasrat para ketua umum partai terpenuhi. Maka dirancanglah sebuah skenario untuk melegalkan aksi mereka melalui amandemen terhadap UUD 1945. Seluruh ketua umum partai yang ikut Pemilu 2019 serta partai yang memiliki keterwakilan di DPR lupa dengan wejangan Bung Karno yang begitu sangat menyentuh ini.
Berikut Ucapan Bung Karno:
Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat, bukan berada diatas rakyat”
Dengan demikian, sebelum semakin jauh menyimpang perjalanan bangsa ini, dikendalikan oleh pemikiran yang tidak logis, kita kembalikan saja perjalanan bangsa ini ke rel yang sudah kita sepakati bersama saat pembentukan negara ini. Sehingga laju pertumbuhan paham radikal dan separatis dapat terkontrol dengan baik. Bila ini dibiarkan tidak tertutup kemungkinan akan lahir paham-paham baru yang sangat bertentangan dengan semangat Pancasila, UUD 1945 serta Bhineka Tunggal Ika.
Yang tidak kalah penting harus diingat bahwa jabatan Presiden, DPR, DPD, MPR, Menteri, Gubernur, DPRD, Bupati/Walikota dan seluruh pejabat Lembaga Negara pada hakikatnya dibentuk dan didirikan untuk melayani rakyat Indonesia secara menyeluruh.
Sayangnya saat ini pemikiran ini sudah tidak berlaku lagi. Karena seluruh pejabat yang diberikan kepercayaan oleh rakyat lebih senang menjadi tersangka” daripada menjalankan tupoksi yang sebenarnya yaitu melayani rakyat”.
Untuk menyelamatkan hak-hak rakyat sudah selayaknya dan sudah sepantasnya dibuat aturan khusus tentang partai dan tata cara perekrutan anggota partai maupun calon anggota legislatif. Demikian juga hubungan rakyat dengan partai, agar kedaulatan rakyat dapat terjaga dengan baik, sesuai dengan pembukaan UUD 1945.
Sehingga tercipta perpolitikan yang sehat di Indonesia, disisi lain anggaran yang didapat partai dari APBN atas nama rakyat yang telah memilih partai maupun caleg dari partai, dapat dipertanggung jawabkan langsung kepada rakyat yang telah memberikan hak suaranya kepada partai maupun kepada caleg yang diusung partai, kemana saja aliran dananya.
Harapannya, cita-cita bangsa yang telah ditorehkan dalam UUD 1945 dapat tergapai dengan mudah dan baik. *
*) Direktur Eksekutif Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3-I)