Pemilihan Umum (Pemilu), Pemilihan Presiden (Pilpres) adalah usaha dan upaya agar pemerintahan yang baru mendapat legitimasi dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan, dengan cara memberikan suara atau mencoblos pada pemilihan umum maupun Pilpres. Rakyat menyerahkan kedaulatannya sekali lima tahun melalui pemilu, dengan tujuan pemerintah yang baru terpilih dapat mewujudkan cita-cita masyarakat adil dan makmur, disamping itu pemerintah harus bertanggungjawab penuh melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa, untuk menjamin semua hal diatas, maka roda pemerintahan harus dijalankan berdasarkan; Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu leadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pemilahan umum dulunya dillaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), namun hal tersebut dianggap tidak netral karena Kemendagri adalah pembantu Presiden, maka dibentuk lembaga sebagai pelaksana dan lembaga pengawas jalannya pemilihan umum yang kita kenal dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dimana kedua lembaga tersebut tidak boleh berafiliasi dengan Partai politik, maka asas Pemilupun dibuat seketat mungkin, untuk menutup kemungkinan segala bentuk kecucrangan dalam Pemilu, adapun asas pemilu adalah;, langsung, umum, bebas, rahasia. jujur, dan adil asas tersebut dibuat untuk menciptakan pemilu yang bermartabat dan beradab, dengan demikian pemerintahan baru yang terbentuk melalui hasil pemilu benar-benar mendapat legitimasi yang kuat dari seluruh rakyat Indonesia.
Walaupun asas pemilu sudah dibuat begitu ketat, namun pada kenyataannya pelaksanaan pemilu selalu menciptakan suhu politik yang sangat membara, bahkan anggota Komisioner KPU maupun Bawaslu hampir disetiap pemilu tertangkap karena kasus Korupsi, kecurangan-kecurangan pemilupun semakin gila-gilaan dan masif, seperti yang terjadi pada pemilu dan pilpres tahun 2014 dimana server KPU mati selama 2 jam, serta adanya dugaan penggelembungan suara dari daerah paling timur Indonesia untuk memenangkan Capres tertentu. Demikian juga halnya pada Pemilu dan Pilpres tahun 2019, dimana pada saat itu hanya diikuti 2 (dua) pasangan Capres dan Cawapres, pada Pilpres 2019 seharusnya KPU melakukan pemilihan ulang terhadap Capres dan Cawapres karena tidak ada pemenang yang memenuhi syarat sesuai dengan UUD 1945 pasal 6A serta UU No 7 Tahun 2017, namun KPU mengeluarkan PKPU No 5 Tahun 2019 untuk menganulir pasal 6A UUD 1945 serta menetapkan pasangan Joko Widodo-Ma’aruf Amin sebagai pemenang pilpres, alhasil pemilu dan pilpres tahun 2019 tidak terlepas dari kecurangan yang sangat brutal dan tidak bermartabat, apalagi dengan tertangkapnya salah seorang Komisioner KPU karena kasus suap, sayangnya sampai saat ini kader partai sebagi penyuap tidak dapat tertangkap, mungkin beliaunya memiliki ilmu menghilang, atau disembunyikan demi menutupi kecurangan pemilu dan Pilpres tahun 2019.
Diawal tahapan Pemilu tahun 2024, kecurangan pemilu menjadi pembahasan yang begitu hangat dan seksi, namun rakyat kaget dan terhentak atas pengakuan Menkopolhukan serta beberapa elit politik yang menyatakan bahwa Pemilu selalu dilakukan dengan kecurangan, namun Menkopolhukam maupun elit politik tidak membongkar secara gamblang kecurangan yang terjadi pada setiap pemilu ataupun tidak mengungkapkan kecurangan yang terjadi secara spesifik, akhirnya pembahasan tentang kecurangan pemilu tersebut redup dan tertelan oleh opini kasus-kasus korupsi yang sampai saat ini belum jelas penyelesaiannya.
Pemilu Tahun 2024 dapat dipastikan dilaksanakan penuh dengan kecurangan yang semakin brutal dan tidak bermartabat, hal tersebut disebabkan KPU dalam melakukan seleksi terhadap partai politik sebagai peserta pemilu tahun 2024, tidak secara sungguh-sungguh dan optimal, sepertinya KPU tidak berani melakukan pemeriksaan administrasi secara teliti terhadap sembilan partai politik yang saat ini menguasai DPR, bisa jadi komisioner KPU telah sepakat ketika mengikuti seleksi di DPR, seandainya KPU memiliki keberanian dan bersungguh-sungguh menjalankan amanah UU maka 9 (sembilan) partai politik tidak memiliki kualifikasi serta tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilu tahun 2024.
Adapun alasan kesembilan partai tersebut tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilu dikarenakan sikap dari kesembilan partai tersebut, membiarkan pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang dilakukan Anggota DPR yang nota bene adalah kader atau petinggi partai, adapun pengkhianatan yang dilakukan pada saat seleksi pemilihan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pada tahun 2019, dimana seleksi dan penetapan terhadap 5 (lima) Anggota BPK yang disetujui melalui Paripurna DPR bertentangan dengan UU No 15 Tahun 2006 Tentang BPK, UU MD3, dan Tata tertib DPR, Pada seleksi dan penetapan Anggota BPK Tahun 2020 juga dilakukan hal yang sama seperti Tahun 2019, namun pada seleksi dan penetapan Anggota BPK pada Tahun 2021 DPR semakin bringas, brutal serta tidak bermartabat, DPR dan Partai semakin otoriter dan sadis, dengan menetapkan seorang calon anggota BPK atas nama Nyoman Adhi Suryadnyana yang dipastikan tidak memenuhi syarat mengikuti seleksi dikarenakan belum 2 (dua) tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat dilingkungan pengelola keuangan negara sesuai dengan UU No 15 Tahun 2016 pasal 13. Sesuai dengan Salinan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor; 779/KM.1/UP.11/2019 yang dikeluarkan pada Tanggal 18 Desember 2019, bahwa Saudara Nyoman baru meninggalkan jabatannya sebagai pejabat dilingkungan pengelola keuangan negara pada Tanggal 18 Desember 2019. Namun pada Tanggal 18 Oktober 2021 melalui Keppres No 125/P Tahun 2021 saudara Nyoman Adhi Suryadnyana dilantik sebagai Anggota BPK, apakah Keputusan Presiden tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 pasal 9? Disamping itu pengesahan saudara Nyoman yang meminta persetujuan seluruh Anggota DPR melalui Sidang Paripurna bukankah penghkianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945?
Sikap Partai politik dalam menentukan Capres tahun 2024 sepertinya lebih memilih calon yang dapat memenuhi kepentingan kelompok dan golongan, penentuan caprespun dilakukan dengan campur tangan Presiden Joko Widodo sesuai dengan pernyataan beliau, akan ikut cawe-cawe dalam menentukan Capres tahun 2024 demi kepentingan bangsa, keterlibatan Joko Widodo semakin terang benderang melalui penegakan hukum yang tidak berkeadilan dan bermartabat, seperti penuntasan kasus pembunuhan Brigadir Yosua, Penuntasan tragedi kanjuruhan yang menelan ratusan jiwa meninggal, penuntasan kasus korupsi Taspen, penuntasan kasus 349 triliun, penuntasan kasus satgas merah putih di tubuh Polri, Penuntasan Ekspor ilegal nikel, penuntasan kasus pengadaan di Mabes Polri, Penuntasan kasus korupsi pengadaan bibit dan benih di kementerian pertanian, penuntasan kasus korupsi ekspor CPO, penuntasan kasus korupsi impor emas 47,1 triliun, penuntasan kasus Foodestate, penuntasan kasus korupsi kereta api di kemenhub, penuntasan kasus Tambang ilegal emas, dan masih banyak kasus korupsi yang digantung sebagai alat pemukul bagi lawan politik. Sementara kasus-kasus yang menyangkut lawan politik dalam tempo sesingkat-singkatnya langsung tertangani dengan baik, seperti kasus BTS, Kasus Pengadaan di Basarnas dll.
Disamping itu partai politik menyodorkan Capres yang memiliki rekam jejak yang memiliki kasus, dengan demikian rakyat dipaksakan atau dijerumuskan untuk memilih Capres yang disajikan atau yang diusung partai politik walaupun tidak memiliki legitimasi yang kuat untuk menjadi Presiden terpilih, hal tersebu membuka peluang terciptanya kecurangan pemilu yang brutal dan tidak bermartabat.
Kenapa partai politik tidak mengusung Capres yang memiliki track recod yang lebih baik, tanpa ada masalah? Sehingga pemilu dan Pilpres tidak selalu dilakukan dengan kecurangan. Apakah dari 275 juta kurang lebih penduduk Indonesia tidak ada yang memiliki Track Record yang baik jadi calon Presiden?
Sebagai pertanyaan pamungkas, Masihkah relevan 9 (sembilan) partai politik yang dengan sengaja membiarkan pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945, yang dilakukan Pengurus partai dan kadernya di DPR mengusung Capres Tahun 2024?
Semakin parah dan semakin tidak beradab lagi dengan keterlibatan pemerintah ikut cawe-cawe dalam menentukan Presiden Tahun 2024? Terus apa gunanya Pancasila, UUD 1945 serta perundang-undangan?
Atas hal tersebut diatas mungkinkah orang bijak yang memiliki kedaulatan masih mau menyerahkan suaranya pada Pemilu dan Pilpres Tahun 2024?
#Orangbijak
Monumen Nasional, 3 September 2023
Coretan;
Tom Pasaribu S.H,M.H