Rezim Orde Baru yang dianggap koruptor serta menggunakan kekuatan militer untuk menciptakan pemerintahan yang kuat dan stabil, adalah sebuah alasan untuk menggulingkan rezim tersebut. bahkan hal ini menjadi sebuah momok yang sangat menakutkan bagi rakyat Indonesia dikala itu, yang kita kenal dengan Dwi fungsi ABRI, Sampai saat ini tidak ada jawaban dan penjelasan akan kebenaran dari tuduhan-tuduhan tersebut. apakah pada saat itu ABRI menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan dan peraturan yang berlaku, atau menjalankan perintah Presiden diluar aturan dan peraturan. Akibatnya rakyat apatis terhadap ABRI saat itu, meskipun aturan dan peraturan bahwa tugas ABRI, melindungi, menjaga keamanan serta mempertahankan situasi Negara agar tetap kondusif. Dengan kejadian tersebut agen-agen politik menjual program dikotomi militer dengan sipil.
Demikian juga dengan Lembaga Kejaksaan dan Polri yang kala itu dianggap tidak mampu untuk menuntaskan kasus-kasus besar, maupun korupsi serta keamanan dan kenyamanan ditengah-tengah masyarakat, ketidak percayaan tersebut melahirkan sebuah Lembaga yang diberi nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk menuntaskan kasus Korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara maupun pemerintahan.
Saat ini kita sedang berada dalam Rezim Reformasi yang katanya bercita-citakan menciptakan situasi yang lebih kondusif dan lebih baik dari Rezim Orde Baru, begitulah yang disampaikan agen-agen politik kala itu.
Dengan demikian sistem Pemilu, Pilpres, dan pemerintahan pun berubah secara total, agar apa yang diucapkan para agen politik terhadap masyarakat dapat berjalan sebagaimana mestinya, namun program dan pemikiran para agen-agen politik tersebut sangat jauh dari yang diharapkan bak ibarat langit dan Bumi dengan situasi dan kondisi yang kita hadapi saat ini, apakah idenya yang kurang cermat, atau niatnya memang menciptakan situasi seperti sekarang yang kita hadapi.
Rezim “Reformasi” pun berkuasa setelah Pemilu 1999 dilaksanakan, serta melakukan Amandemen terhadap UUD 1945, untuk membatasi dan mengatur kewenangan serta kekuasaan Presiden, DPR dan DPD. Namun dalam perjalanannya, ide dan pemikiran Dwi Fungsi ABRI yang katanya digunakan Orde Baru, dilahirkan Kembali menjadi Dwi Fungsi Polri. Adapun tujuan para agen politik tentu untuk menambah energi yang lebih baru untuk Pemerintah yang berkuasa serta sebagai alat pemukul. Agar keberadaan Polri betul-betul mandiri maka diperlukan sebuah aturan dan peraturan. Untuk memenuhi kemandirian Polri dikeluarkanlah UU No 2 Tahun 2002, dengan adanya uu tersebut maka Polri secara otomatis dipisahkan dari ABRI. Dengan tujuan Polri sebagai alat pemerintah yang berkuasa menggantikan posisi ABRI yang sudah tidak disukai oleh rakyat saat itu, disamping hal diatas keuntungan yang dapat diraih adalah penambahan suara disaat Pemilu. Tanpa disadari agen-agen politik posisi Polri sangat diuntungkan, bahkan Polri menjadi sebuah kekuatan baru dalam menentukan pemenang Pemilu maupun Pilpres.
Dwi fungsi Polri pun menjadi momok dan pembahasan yang serius dikalangan tokoh-tokoh masyarakat, politik, agama dan partai. Hal ini mengakibatkan lahirnya agen-agen politik yang baru untuk menumbangkan rezim reformasi melalui agenda-agenda terselubung. Kalaupun tidak dapat menumbangkan rezim reformasi ditengah jalan maka skenario yang dibangun adalah merebut kekuasaan pada tahun 2024 dengan cara menciptakan kegaduhan politik sampai saat pemilu tahun 2024.
Apa isu yang akan dijual untuk menciptakan kegaduhan, awalnya para agen politik menjual penangan Pandemi Covid-19 sebagai isu utama, namun sepertinya mereka sudah sadar bahwa isu pandemic Covid-19 adalah kepentingan perang ekonomi serta Pilpres di Amerika Serikat. Dengan usainya Pilpres di AS isu penanganan Covid-19 akan usai terbawa angin sepoi-sepoi.
Maka beberapa isu yang akan dijual kepada rakyat adalah Dwi fungsi Polri dan pelaksanaan Pilkada tetap diselenggarakan pada tahun 2022, dengan alasan bahwa pemilu yang dilaksanakan secara serentak pada tahun 2019 telah memakan banyak korban dari penyelenggara pemilu, serta beberapa isu lainnya.
Krawang Bekasi November 2020
Penulis;
Tomu Augustinus Pasaribu SH
Direktur Eksekutif KP3-I
Mahasiswa MIH UKI